#SANDALLLL

Categories
Opini Read

Turunnya Partisipasi Pilkada, Cerminan Apatisme Politik(?)

Pilkada Kota Metro 2024 telah selesai dilaksanakan. Namun, data yang muncul meninggalkan sebuah catatan penting yang perlu direnungkan bersama: partisipasi pemilih mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan pilkada sebelumnya. Dengan tingkat partisipasi sebesar 73,73%, angka ini lebih rendah dari Pilkada 2020 yang mencapai 85,74%. Kota Metro, yang selama ini dikenal sebagai salah satu kota kecil dengan akses informasi yang relatif baik, kini menghadapi fenomena apatisme politik yang patut menjadi perhatian serius.

Apatisme politik bukanlah fenomena baru dalam demokrasi modern, tetapi dalam konteks Kota Metro yang kecil dan cenderung homogen, penurunan ini menjadi tanda tanya besar. Apakah masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap proses politik? Apakah penyelenggara pemilu gagal menyampaikan pentingnya hak pilih? Ataukah para kandidat tidak lagi mampu menyulut harapan masyarakat?

Mari kita telaah, refleksikan, dan pahami persoalan ini secara lebih mendalam.

Apatisme Politik: Ketika Kepercayaan Publik Memudar

Apatisme politik, sebagaimana sering dibahas dalam literatur sosial, adalah keadaan di mana masyarakat merasa tidak peduli atau kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik. Dalam demokrasi, partisipasi adalah inti dari legitimasi, tetapi jika masyarakat mulai merasa bahwa suara mereka tidak memiliki makna, maka kedaulatan rakyat, sebagaimana ditekankan oleh Abraham Lincoln, akan kehilangan substansinya.

Di Kota Metro, dengan akses informasi yang memadai, sulit untuk mengatakan bahwa masyarakat tidak tahu adanya pilkada atau tidak memahami pentingnya menggunakan hak pilih. Informasi tentang Pilkada 2024 telah tersebar luas, baik melalui media sosial maupun saluran komunikasi tradisional. Bahkan, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang mencapai 131.482 menunjukkan bahwa masyarakat memiliki akses penuh untuk berpartisipasi. Namun, penurunan partisipasi menunjukkan bahwa ada masalah yang lebih mendalam: rasa percaya masyarakat terhadap politik sedang tergerus.

Dalam hal ini, penting untuk memahami bahwa apatisme politik tidak muncul begitu saja. Seperti benih yang tumbuh di tanah gersang, ia berkembang dari kekecewaan yang terakumulasi. Kekecewaan terhadap janji-janji yang tidak ditepati, ketiadaan perubahan signifikan, dan perasaan bahwa kandidat yang tersedia tidak benar-benar mewakili aspirasi mereka adalah beberapa alasan yang dapat dijadikan landasan utamanya.

Lebih dari Sekadar Sosialisasi

Sebagai pihak yang bertanggung jawab menyelenggarakan pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kota Metro memiliki tugas besar untuk memastikan partisipasi maksimal. Sosialisasi, meskipun penting, bukanlah satu-satunya kunci untuk meningkatkan partisipasi. Di kota kecil seperti Metro, yang infrastrukturnya memungkinkan penyebaran informasi yang cepat, alasan rendahnya partisipasi tidak semata-mata karena kurangnya informasi.

Pertanyaan pentingnya adalah, apakah KPU telah berhasil membangun kesadaran kritis masyarakat? Sosialisasi bukan hanya tentang pemberitahuan teknis, seperti di mana dan kapan harus memilih, tetapi juga tentang mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya suara mereka. Kesadaran ini harus terus dipupuk agar masyarakat memahami bahwa setiap suara memiliki arti dalam menentukan masa depan kota mereka.

Sebagaimana diungkapkan filsuf John Dewey, pendidikan demokrasi adalah upaya kolektif untuk membentuk masyarakat yang sadar akan hak dan tanggung jawabnya. Dalam konteks Pilkada Metro, pendidikan ini bukan hanya tugas KPU, tetapi juga tanggung jawab bersama antara penyelenggara, pemerintah daerah, media, dan organisasi masyarakat.

Membawa Harapan, Bukan Sekadar Janji

Dua pasangan calon yang maju dalam Pilkada 2024 tentu memiliki visi dan program kerja yang baik. Namun, kebaikan visi ini tidak akan berarti jika masyarakat tidak merasa terhubung dengan calon-calon tersebut. Dalam politik, persepsi sering kali lebih penting daripada kenyataan. Jika masyarakat merasa bahwa para kandidat hanya membawa janji kosong atau tidak memahami kebutuhan mereka, maka kepercayaan mereka terhadap politik akan semakin menurun.

Hal ini menjadi tantangan besar bagi para peserta pilkada. Demokrasi bukan sekadar soal menang atau kalah, tetapi tentang bagaimana proses politik dapat memperkuat kepercayaan masyarakat. Kandidat harus mampu menunjukkan bahwa mereka tidak hanya hadir untuk merebut kekuasaan, tetapi juga untuk mendengarkan, memahami, dan bekerja demi kepentingan masyarakat.

Abraham Lincoln, salah satu tokoh demokrasi, pernah mengatakan bahwa pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan yang mampu mencerminkan kehendak rakyat. Dalam hal ini, peserta pilkada memiliki tanggung jawab moral untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar mewakili suara masyarakat, bukan sekadar mengejar ambisi politik pribadi.

Kedaulatan Pemilih dan Masa Depan Demokrasi Kota Metro

Pada akhirnya, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah: bagaimana membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap proses politik?

Kedaulatan pemilih adalah inti dari demokrasi. Namun, kedaulatan ini hanya akan terwujud jika masyarakat merasa bahwa suara mereka benar-benar dihargai dan memiliki dampak nyata. Untuk itu, tugas besar menanti semua pihak: penyelenggara harus memperbaiki pendekatan mereka dalam menyosialisasikan pemilu, peserta pilkada harus mampu membangun hubungan yang lebih erat dengan masyarakat, dan masyarakat itu sendiri harus menyadari bahwa hak pilih adalah senjata utama dalam menentukan masa depan.

Apatisme politik yang sedang tumbuh di Kota Metro harus menjadi panggilan bagi semua pihak untuk introspeksi. Jika demokrasi ingin tetap hidup, maka semua elemen harus bekerjasama memastikan bahwa setiap suara dihargai dan setiap individu merasa terlibat dalam proses politik.

Pilkada 2024 adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi demokrasi kita hari ini. Namun, tantangan ini juga membawa peluang untuk belajar, tumbuh, dan membangun sistem yang lebih baik. Karena pada akhirnya, demokrasi bukan hanya tentang memilih, tetapi tentang memastikan bahwa setiap pilihan membawa harapan, kepercayaan, dan perubahan.

Ahmad Mustaqim, S.Pd. (Warga Sipil Kota Metro)

Kamis, 5 Desember 2024.

Categories
Opini Read

Pilkada 2024 (Siapa yang menang?)

Hari ini, istri dan saya sah menunaikan hak pilih dalam momentum Pilkada Serentak 2024. Kami mendatangi hajat negara ini untuk memilih Walikota dan Wakil Walikota Metro, serta Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung.

Belakangan dinamika politik di Kota Metro makin panas, meski cuaca sedang hujan dan adem. Tapi semua berlalu sesuai prosesnya, sampai hari pemungutan suara tiba.

Saya selalu ingat, dalam dunia politik, tidak ada yang pasti selain ketidakpastian itu sendiri. Tapi, dalam sebuah pertandingan, ada kepastian yang sudah pasti, menang atau kalah.

Jadi, siapa yang menang/kalah dalam Pilkada Metro 2024? Biarkan penyelenggara nanti menjawab.

Tapi, idealnya siapapun yang ditetapkan sebagai pemenang, rakyatlah pemenang utamanya. Bahwa yang duduk di kekuasaan nanti adalah Wali seluruh rakyat.

Metro, 27 November 2024

Foto: C-Hasil TPS saya mencoblos dan Quick Count Rakata

#Sandallll

Categories
Opini Read

Dataisme (dan Kesadaran Manusia)

Saya tiba-tiba ingat soal Dataisme, yang dijelaskan oleh Yuval Noah Harari. Melihat dunia sebagai aliran data. Dalam pandangan ini, kita, perusahaan, dan institusi semua adalah bagian dari jaringan besar yang saling berbagi dan memproses informasi. Di era ini, kita tak lagi hanya sekadar mengambil keputusan—data dan algoritma justru semakin sering “mengambil keputusan” untuk kita. Semakin hari, banyak aspek kehidupan kita yang dipandu oleh data, mulai dari rekomendasi tontonan hingga analisis kesehatan pribadi.

Jadi, bagaimana kita menyiapkan diri menghadapi realitas ini? Ada dua langkah sederhana yang bisa kita lakukan.

Pertama, pahami teknologi yang sering kita gunakan. Ini tidak berarti kita harus jadi ahli teknologi, tapi cukup tahu dasar-dasarnya saja. Misalnya, pahami bagaimana data kita dipakai di media sosial atau aplikasi. Dengan begitu, kita tetap bisa mengontrol dan tidak hanya jadi pengguna pasif yang mengikuti semua yang direkomendasikan.

Kedua, kembangkan sikap etis dan kesadaran emosional. Data memang sering dianggap netral, tapi sering kali dipengaruhi oleh pihak-pihak yang mengolahnya. Artinya, kita perlu berpikir ulang sebelum menerima begitu saja setiap rekomendasi atau keputusan yang dibuat oleh teknologi. Jangan sampai kita kehilangan kemampuan menilai sesuatu secara kritis dan manusiawi.

Memang, yang dipilih saat ini adalah tools dan algoritma yang canggih, sehingga terasa kehadiran teknologi di mana-mana. Tapi, kalau akhirnya kita menemukan cara lain untuk menjaga kendali manusiawi di tengah kemajuan data, itu justru lebih baik, dan itu adalah tugas kita bersama di era Dataisme ini.

Metro, 31 Oktober 2024
Buku: Homo Deus ~ Yuval Noah Harari

#Sandallll : Terposting di Instagram

Download Data Digital Indonesia 2024 (We Are Social) – Klik Disini

Categories
Opini Read

Ngelmu Iku Kalakone Kanthi Laku

Saya tiba-tiba ingat nasehat Bahasa Jawa tersebut. Dibuat oleh Pakubuwono IV yang tertuang dalam Serat Wulangreh. Nasehat itu bisa diartikan bahwa ilmu itu mudah dipahami dengan sebenar-benarnya, dan masuk ke dalam jati diri jika sudah diterapkan dalam tingkah laku atau perbuatan.

Saya kemudian muhasabah, soal ilmu seringkali saya hanya berhenti di maqom mengetahui, hanya sekedar tahu, mentok hanya menjadi pengetahuan yang bergentayangan di pikiran. Kadang agak naik dikit, saya duduk di maqom memahami. Di maqom ini pengetahuan sudah menjadi bagian dari bahan pertimbangan saya dalam mengambil keputusan.

Tapi setelah dihitung-hitung ternyata seringnya hanya mentok di 2(dua) maqom itu, belum juga naik ke tingkat selanjutnya, menerapkan atau menjadi tingkah laku. Kita ini kan belajar awalnya cukup tahu, naik dikit ke paham, lalu harus naik ke penerapan, supaya jadi kebiasaan.

Misalnya soal ilmu parenting. Esa yang lahir di era pesatnya informasi dan teknologi tentu nantinya akan bergelut dengan dunia digital. Ia lahir berdampingan dengan teknologi. Maka ilmu-ilmu soal teknologi, distraksi media sosial dan kebutuhan screentime anak serta ilmu lainnya perihal tumbuh kembang anak banyak dipelajari.

Banyak memahami ilmunya, iya, tapi saya dan istri juga harus berusaha melaksanakan ilmu-ilmu tersebut ‘kanthi laku’, sampai menjadi habit/kebiasaan. Meski pelan, tapi terus berupaya untuk naik level maqomnya, pun minimal kita tidak pernah berhenti soal belajar, soal mencari ilmu.

Metro, 17 September 2024

Categories
Opini Read

Branding Kelurahan(?)

Beberapa tahun lalu, sekitar 2019. Saya ngobrol ringan dengan pak @ferryhandono. Obrolan kami mulai dengan pertanyaan “Apa yang terlintas dipikiran mayoritas orang ketika mendengar nama Kelurahan?” Satu, dua, dan beberapa jawaban kami temukan sampai pada kesimpulan ‘Kantor Administratif’.

Kami kemudian sepakat, tidak ada yang menarik sama sekali dari ruang yang sekedar untuk administratif. Kelurahan lebih dari sekedar itu, bukan sekedar kantor. Dia adalah wilayah yang luas dengan cerita sejarahnya, yang memiliki penghuni ribuan dengan segala keunikannya.

Ada petani, peternak, pedagang, pengrajin, pelajar, pegawai, pengangguran, dan lainnya. Ada orang sepuh, dewasa, remaja, dan anak-anak. Mereka adalah orang – orang yang tinggal dan mengabdi dengan segala potensinya disana.

Lalu, bagaimana Kelurahan bisa melenting dan dikenal dengan segala keunikannya? Branding !!

Ya, tentu saja dengan branding. Branding bisa dimulai dengan membangun kanal-kanal media digital, menarasikan setiap kisah-kisah sejarah, keunikan warga, potensi dan lainnya dari setiap Kelurahan.

Bahwa kemudian ada ruang fisik bernama Kantor, itu hanyalah simbol dari pemerintahan. Hanyalah ruang yang mengakomodir segala keperluan dan kepentingan untuk warganya, ya, untuk warganya.

Metro, 12 Agustus 2024
Foto: 14/7/2024

Categories
Opini Read

PMII dan Artificial Intelligence – Merawat Sadar di Era Digital

Oleh: Ahmad Mustaqim, S.Pd. 

Revolusi teknologi yang dipacu oleh artificial intelligence (AI) telah merubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Inovasi ini menawarkan peluang tak tertandingi untuk kemajuan dalam berbagai bidang, tetapi juga membawa tantangan yang signifikan, terutama dalam hal etika, privasi, dan dampak sosial. Sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), kita dihadapkan pada tugas penting: bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi dengan bijaksana dan bertanggung jawab, sambil tetap berpegang pada nilai-nilai dasar pergerakan.

Dalam konteks teknologi AI, kita tidak bisa hanya terjebak dalam pesona kemajuan tanpa menyadari dampak sosial yang menyertainya. AI, dengan segala kecanggihannya, menawarkan peningkatan produktivitas yang luar biasa. Laporan McKinsey Global Institute mengestimasi bahwa teknologi otomatisasi yang didorong oleh AI dapat meningkatkan produktivitas global hingga 1,2% per tahun, memberikan kontribusi ekonomi sebesar $13 triliun pada tahun 2030. Ini adalah potensi besar yang dapat mengoptimalkan proses dan efisiensi di berbagai sektor, dari layanan kesehatan hingga pendidikan. Namun, di balik potensi ini, terdapat dampak negatif yang tidak bisa diabaikan. Laporan World Economic Forum menunjukkan bahwa AI dapat menggantikan sekitar 75 juta pekerjaan pada tahun 2022, menimbulkan ketidakpastian dan tantangan ekonomi bagi banyak pekerja. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting tentang bagaimana kita bisa menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan perlindungan terhadap kesejahteraan sosial.

Lebih jauh lagi, dampak AI terhadap privasi dan bias harus menjadi perhatian utama kita. Kasus-kasus bagaimana data dicomot untuk kepentingan politik sampai privasi data yang bocor sering terjadi di Indonesia. Selain itu kasus Cambridge Analytica menunjukkan bagaimana data pribadi yang dikumpulkan dan dianalisis oleh AI dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik, sementara studi dari MIT dan Stanford University mengungkapkan bahwa sistem pengenalan wajah AI memiliki akurasi yang jauh lebih rendah untuk wanita kulit hitam dibandingkan dengan pria kulit putih. Temuan ini menyoroti risiko bias yang inheren dalam algoritma AI, yang dapat memperburuk ketidakadilan sosial dan diskriminasi.

Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, kader PMII memiliki peran strategis yang tidak hanya berfokus pada adaptasi teknologi tetapi juga pada penerapan prinsip-prinsip moral dan etika. Prinsip Hablum Minallah (Hubungan dengan Allah), Hablum Minannas (Hubungan dengan Sesama Manusia), dan Hablum Minal Alam (Hubungan dengan Alam) harus menjadi panduan kita dalam memanfaatkan teknologi.

NDP DAN TEKNOLOGI

Hablum Minallah menggarisbawahi pentingnya menggunakan teknologi dalam bingkai moral dan etika yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Dalam hal ini, penggunaan AI harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip etika yang dipegang teguh. Misalnya, dalam pengumpulan dan penggunaan data pribadi, penting untuk memastikan bahwa proses tersebut dilakukan dengan izin yang jelas dan untuk kepentingan yang bermanfaat, bukan untuk kepentingan yang merugikan individu atau kelompok.

Sementara itu, Hablum Minannas menekankan pentingnya memperkuat keterhubungan sosial di tengah pesona teknologi. Meskipun teknologi memungkinkan kita untuk terhubung secara virtual, interaksi sosial tatap muka tetap penting untuk menjaga hubungan manusia yang autentik. Penelitian dari Pew Research Center menunjukkan bahwa interaksi digital yang berlebihan dapat mengurangi kualitas hubungan sosial dan kesehatan mental. Oleh karena itu, sebagai kader PMII, kita harus memprioritaskan pertemuan langsung dan kolaborasi yang melibatkan interaksi manusia yang mendalam, guna menjaga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata.

Hablum Minal Alam, di sisi lain, menyoroti pentingnya mengelola dampak lingkungan dari teknologi. Penggunaan teknologi, termasuk AI, dapat memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan, seperti konsumsi energi yang tinggi. Laporan dari International Energy Agency (IEA) mengungkapkan bahwa peningkatan penggunaan server untuk menyimpan data AI dapat mempengaruhi konsumsi energi global dan emisi karbon. Kader PMII harus aktif dalam upaya pelestarian lingkungan, termasuk memilih teknologi yang ramah lingkungan dan berupaya mengurangi dampak negatifnya terhadap alam.

Dalam menghadapi era digital ini, kader PMII harus memainkan peran proaktif dalam memastikan bahwa teknologi digunakan dengan bijak dan sesuai dengan nilai-nilai etika. Pengembangan kesadaran kritis terhadap dampak teknologi adalah langkah awal yang penting. Ini termasuk memahami bagaimana teknologi mempengaruhi berbagai aspek kehidupan dan masyarakat serta bagaimana kita dapat mengelola dampak tersebut secara efektif. Kesadaran ini memungkinkan kita untuk membuat keputusan yang tidak hanya berbasis pada efisiensi teknologi tetapi juga pada prinsip-prinsip sosial dan etika.

Integrasi nilai-nilai dasar PMII dalam penggunaan teknologi adalah langkah berikutnya. Penggunaan teknologi harus selalu didasarkan pada prinsip Hablum Minallah, Hablum Minannas, dan Hablum Minal Alam. Dengan demikian, teknologi tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan praktis tetapi juga sebagai sarana untuk memajukan tujuan moral dan sosial yang lebih besar.

Terakhir, advokasi untuk kebijakan teknologi yang adil merupakan peran penting yang harus diambil oleh kader PMII. Ini termasuk mendukung regulasi yang melindungi hak-hak individu dan memastikan bahwa teknologi digunakan untuk kepentingan umum. Keterlibatan dalam diskusi kebijakan memungkinkan kader PMII untuk berkontribusi pada pembuatan aturan yang memastikan bahwa inovasi digunakan secara etis dan bertanggung jawab.

Dengan memahami dan menerapkan nilai-nilai dasar pergerakan, kader PMII tidak hanya dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi tetapi juga memanfaatkannya dengan cara yang mendukung kebaikan bersama. Kesadaran akan dampak sosial, etis, dan lingkungan dari teknologi, bersama dengan peran proaktif dalam pembuatan kebijakan, akan memastikan bahwa teknologi tidak hanya memperkaya kehidupan kita tetapi juga memperkuat prinsip-prinsip keadilan dan kebaikan bersama. Ini adalah tanggung jawab kita untuk memanfaatkan teknologi dengan bijaksana, memastikan bahwa kemajuan yang kita capai berkontribusi pada masa depan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan.

Foto: Tahun 2017

Categories
Opini Read

Mentas, Tuntas

Setiap pencapaian patut dirayakan. Sekurang-kurangnya saya kemarin baru saja merayakan Wisuda. Menyelesaikan apa yang seharusnya sudah diselesaikan sejak dulu.

Waktu tempuh yang terbilang lama, sebab ada periode dimana saya berada pada kubangan keruwetan yang sama sekali belum terpola.

Beruntung saya senantiasa bersama orang-orang baik yang selalu mensupport dan mengajak untuk terus tumbuh, orang-orang yang selalu memberikan ruang dan kesempatan untuk berkembang.

Prinsip “Dimanapun tempat adalah sekolah dan siapapun orang adalah guru,” membuat saya bertemu dengan banyak orang dan mempelajari banyak hal. Dan tentu membuat saya menemukan pola-pola untuk membuat keruwetan itu menjadi sebuah harmoni.

Terimakasih kepada semuanya. Semoga pencapaian ini berkah untuk segalanya. Mari terus belajar, sebab tidak ada kata telat dalam belajar, pun tidak pernah ada kata selesai.

Metro, 8 Mei 2024 | Wisma Haji Al-Khairiyah

#Sandallll

Categories
Opini Read

Menjawab Pertanyaan (Bagaimana?)

Ada dua hal yang bisa senantiasa diinovasikan dalam ruang birokrasi. Pertama, soal layanan administrasi, ini adalah rutinitas yang berulang, jadi idenya tinggal bagaimana rutinitas itu menjadi lebih efisien dan efektif.

Kedua, soal layanan informasi publik. Lembaga negara/birokrasi pasti punya kewajiban untuk menyampaikan informasi ke publik, perihal ini tinggal bagaimana caranya birokrasi menyampaikan atau mempublikasikan.

Nah, apa yang dilakukan di Metro Timur ini, hanya sebatas menjawab pertanyaan ‘bagaimana caranya itu tadi’ dengan memanfaatkan teknologi aplikasi berbasis website. Layanan administrasi cukup pakai Smartphone saja, layanan informasi publik tinggal akses atau klik saja.

Memang yang dipilih adalah tools teknologi, sehingga nampak layar-layar monitor yang dimaksimalkan kegunaannya. Kalau pada akhirnya kalian bisa menemukan jawaban lain, justeru itu yang bagus, sebab pasti memunculkan ide/inovasi baru.

Yosodadi, 26 April 2024

#Sandallll

Categories
Opini Read

Menjadi Orang Tua

14 bulan, adalah waktu yang baru saja saya lalui sebagai sosok orang tua. Waktu yang tentu saja baru sekitar satu revolusi bumi. Belum lama.

Bulan demi bulan berlalu dan Esa terus tumbuh. Ia terus aktif, melihat, memahami, lalu menirukan segala sesuatu. Ia bicara, tertawa, dan juga menangis.

Satu per satu pencapaian terus Esa tunjukkan dan tentu saja membuat saya sebagai orang tua bahagia. Kebahagiaan yang tidak bisa secara detail saya jelaskan.

Kebahagiaan yang membuat saya merasakan apa yang dulu orang tua saya rasakan. Bahagia melihat saya sebagai anaknya tumbuh dan melakukan pencapaian-pencapaian kecil.

Seolah bertukar posisi, tapi mungkin sebenarnya menjadi orang tua memang begitu, menambah porsi empati, menambah ketajaman rasa/hati.

Metro, 15 April 2024 #Sandallll

Categories
Opini Read

Ruh Sebuah Nama

Pasar Takjil 28 Purwosari, nama yang terkesan biasa. Tidak unik dengan gaya-gaya akronim seperti lainnya. Meski begitu, sempat pernah muncul usulan nama yang agak unik, tapi di forum tersebut usulan itu ditolak.

Saya adalah orang yang juga menolak. Bagi saya nama Pasar Takjil 28 Purwosari adalah nama yang sudah baku, dan memiliki nilai tersendiri. Pasar Takjil adalah sebutan yang sudah sangat menjelaskan tentang apa isi dan momennya.

28 adalah angka Beddeng peninggalan tetua kolonis yang tentu sudah menjadi ciri sebuah lokasi. Sedangkan Purwosari adalah evolusi nama wilayah yang masih dipakai sampai saat ini.

Jadi, Pasar Takjil 28 Purwosari adalah nama spesifik yang memiliki ruhnya sendiri untuk mendatangkan pengunjung ramai setiap hari.

Foto: Naufal Akbar | Momen Pembukaan Resmi | 14/03/2024