Saya tiba-tiba ingat nasehat Bahasa Jawa tersebut. Dibuat oleh Pakubuwono IV yang tertuang dalam Serat Wulangreh. Nasehat itu bisa diartikan bahwa ilmu itu mudah dipahami dengan sebenar-benarnya, dan masuk ke dalam jati diri jika sudah diterapkan dalam tingkah laku atau perbuatan.
Saya kemudian muhasabah, soal ilmu seringkali saya hanya berhenti di maqom mengetahui, hanya sekedar tahu, mentok hanya menjadi pengetahuan yang bergentayangan di pikiran. Kadang agak naik dikit, saya duduk di maqom memahami. Di maqom ini pengetahuan sudah menjadi bagian dari bahan pertimbangan saya dalam mengambil keputusan.
Tapi setelah dihitung-hitung ternyata seringnya hanya mentok di 2(dua) maqom itu, belum juga naik ke tingkat selanjutnya, menerapkan atau menjadi tingkah laku. Kita ini kan belajar awalnya cukup tahu, naik dikit ke paham, lalu harus naik ke penerapan, supaya jadi kebiasaan.
Misalnya soal ilmu parenting. Esa yang lahir di era pesatnya informasi dan teknologi tentu nantinya akan bergelut dengan dunia digital. Ia lahir berdampingan dengan teknologi. Maka ilmu-ilmu soal teknologi, distraksi media sosial dan kebutuhan screentime anak serta ilmu lainnya perihal tumbuh kembang anak banyak dipelajari.
Banyak memahami ilmunya, iya, tapi saya dan istri juga harus berusaha melaksanakan ilmu-ilmu tersebut ‘kanthi laku’, sampai menjadi habit/kebiasaan. Meski pelan, tapi terus berupaya untuk naik level maqomnya, pun minimal kita tidak pernah berhenti soal belajar, soal mencari ilmu.
Metro, 17 September 2024