#SANDALLLL

Categories
Opini Read

Demokratisasi Ide dalam Ruang Birokrasi

Kita menyadari bahwa hari ini adalah eranya kecanggihan teknologi digital. Era dimana kita dengan mudahnya mengakses apapun, dimanapun, dan kapanpun.

Seperti halnya setiap membuka media digital, mulai dari bangun tidur kita sudah disuguhi jutaan informasi yang dengan mudahnya dapat diakses.

Di era ini, siapapun orang bisa dengan bebas membuat dan mendistribusikan informasi. Entah itu informasi baik, buruk, benar, ataupun salah, sistem digital tidak mempedulikannya.

Kebebasan ini, sering disebut sebagai demokratisasi informasi. Adanya kebebasan inilah yang kadang sering disalahgunakan seseorang untuk memproduksi informasi yang tidak benar atau hoax.

Hal ini memaksa birokrasi juga turut hadir sebagai produsen informasi yang tentu saja menjadi tameng dari segala bentuk hoax yang beredar, bahkan sebelum hoax itu diciptakan.

Lembaga birokrasi pun mulai aktif ber-media sosial, dan terbiasa memproduksi informasi serta mengklarifikasi ketidakbenaran suatu informasi.

Jika mendistribusikan informasi adalah hal yang umum bagi birokrasi, bagaimana jika birokrasi mendistribusikan ide-ide atau mendemokratisasikan ide?

Secara umum, demokratisasi ide bisa kita artikan sebagai situasi dimana orang bisa belajar (secara substansial) dengan siapa saja, dimana saja, dan kapan saja melalui pemanfaatan teknologi.

Lalu, bagaimana menciptakan situasi tersebut di Kota ini?

Media digital adalah kunci, sebab menjadi sarana yang paling utama. Kemudian orang-orang (tanpa kelas sosial apapun) yang bergerak dan mengimajinasikan kemajuan (masa depan) Kota ini diberi ruang seluas-luasnya untuk bercerita.

Maka, ide-ide soal Kota ini akan semakin berlimpah dan mudah diakses serta ‘dikonsumsi’ oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun.

Jadi, birokrasi perlu sedikit menambah pola. Tidak hanya memproduksi informasi, tapi juga mendistribusikan ide, bahkan menciptakan ruang pertukaran ide menjadi suatu inovasi yang menarik.

#Sandallll

Categories
Opini Read

Sedulur Papat Limo Pancer

Setelah penantian sekitar 10 bulan di dalam perut sang Ibu. Tepat pada tanggal 4 Februari 2023, lahirlah putra pertama kami. Kelahirannya pun menjadi kabar bahagia bagi keluarga besar yang menanti-nanti.

Memaknai sebuah kelahiran, saya mengingat kembali filosofi Sedulur Papat Limo Pancer. Sebuah khasanah Nusantara yang memiliki makna dalam tentang manusia.

Dalam pemikiran Jawa, Sedulur Papat atau empat saudara adalah apa-apa yang menjaga dan mengiringi kelahirannya. Mereka adalah kakang kawah (air ketuban), adi ari-ari (plasenta), getih (darah) dan puser (tali plasenta). Kakang kawah berperan menjaga badan, dan lahir lebih dulu untuk membuka jalan lahir bagi Bayi.

Adi ari-ari menyalurkan sari pati makanan, dan perilaku orang tuanya, ia lahir setelah Bayi. Getih senantiasa menjadi kawan Bayi selama 24 jam hingga proses lahir, ia ikut lahir dan ada di dalam diri Bayi. Dan puser yang menjaga Bayi sampai (pasca melahirkan) sekitar tujuh hari hingga kemudian puput. Sedangkan yang kelima pancernya adalah diri manusianya itu sendiri yang menjadi tunggal dari sedulur papat.

Memang, banyak pemaknaan yang dalam tentang Sedulur Papat Limo Pancer. Tapi yang terpenting adalah sebagai manusia kita harus sadar, ada banyak unsur di dalam diri (mikrokosmos ini) yang berperan sangat penting, dan kita sering melupakan, bahwa kita wajib berterimakasih.

_
Selamat lahir ke dunia, nak.

Terposting di instagram @sandallll_

#Sandallll

Categories
Read

Digitalisasi dan Peluang Bisnis

Ada 191 juta pengguna aktif sosial media (sosmed) di Indonesia, data ini dirilis oleh We Are Social awal tahun 2022. Ini meningkat 12.35% dari tahun sebelumnya. Saya yakin, tahun depan akan ada peningkatan lagi.

Orang-orang semakin lama akan semakin terbiasa menggunakan internet dan sosmed, pola kebiasaan akan semakin berubah ke arah digitalisasi, tak terkecuali soal berwirausaha.

Hari ini (08/12), saya sharing dengan kawan-kawan Karang Taruna Se-Kota Metro tentang bisnis via digital, khususnya via Marketplace. Tiap Marketplace selalu memiliki pola algoritmanya sendiri, dan tentu saja punya data-data usernya yang bisa kita beli untuk keperluan promosi (baca: ngiklan).

Terposing di Instagram: @Sandallll_

Categories
Read

Smart Village, Langkah Awal Menuju Metro Smart City

Smart Village (Kelurahan Cerdas), adalah salah satu langkah awal yang harus dilakukan untuk menuju Metro Smart City. Dari akar rumput, dari tatanan masyarakat yang paling bawah inilah pola-pola pemberdayaan teknologi harus dibiasakan.

Layanan dan akses data/informasi dimudahkan dengan satu klik, marketplace disediakan untuk promosi produk/jasa unggulan warga kelurahan. Kelurahan bukan lagi sebagai ruang administrasi, tapi ke depan harus menjadi brand, menjadi ruang yang bernilai dan bermanfaat bagi warga masyarakat.

Semoga apa yang kami lakukan ini bermanfaat dan memberi efek bola salju kebaikan di masa yang akan datang.
_
Tejosari, 21 November 2022

Instagram: @sandallll_

Categories
Read

Menulis Itu Soal Kebiasaan

Dalam hal menulis saya punya motto, “Tulislah Sesukamu, Ungkapkan Senyamanmu”. Motto ini yang kemudian menjadi lilin dan terus menyala di blog pribadi saya.

Menulis adalah soal kebiasaan, lebih spesifik lagi adalah soal kemauan. Bagaimana tentang menemukan dan membuat ide, angel, outline, sampai pada proses menulis, editing, dan publikasi, ini hal yang basic dan menurut saya penting.

Sabtu kemarin (26/03), bersama PMII Komisariat IAIM NU Metro saya berbagi sekilas pengalaman soal kepenulisan. Setidaknya memberi stimulan, bahwa menulis itu nggak sesusah apa yang dibayangkan.

#Sandallll

Categories
Opini Read

Organisasi Kepemudaan dan Kepemimpinan dalam Gerakan Pemberdayaan

Sejarah pernah mencatat bahwa peran pemuda sebagai aktor perubahan menjadi kunci utama dari sebagian besar proses pembangunan di negeri ini. Dalam hal ini, pemuda juga seringkali dijuluki sebagai agent of change atau agen perubahan. Bung Karno pernah mengatakan, “Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”, artinya ada harapan besar bagi sebuah negara yang erat kaitannya pada diri anak-anak mudanya. Maka, akan menjadi sangat penting apabila kemudian negara mampu menyediakan ruang-ruang pengetahuan alternatif di mana anak muda negeri ini dapat berproses untuk tumbuh dan berkembang di lingkungannya.

Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, pada pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Meski begitu, faktanya definisi pemuda (pada batasan usia) terus berkembang di masyarakat, ada yang mengacu pada UU tersebut, ada juga yang tidak. Di luar perdebatan batasan usia tersebut, hal paling penting adalah soal semangat pemuda. Meski berusia diatas 30 tahun, masih pantas disebut pemuda jika memiliki semangat layaknya pemuda.

Data Sensus Penduduk (SP) Tahun 2020 oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI) menyajikan jumlah data penduduk Warga Negara Indonesia yang bertambah 32,56 juta jiwa dibandingkan SP Tahun 2010, artinya kini jumlah penduduk Indonesia terus bertambah hingga mencapai 270,20 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, tercatat ada 53,81% jumlah usia produktif di indonesia yang dibagi berdasarkan rentang usia yang berbeda. Diantaranya sebanyak 27,94% Gen Z (generasi yang lahir rentang tahun 1997-2012, yang saat ini usianya diperkirakan antara 17-23 tahun) dan sebanyak 25,87% Milenial (generasi yang lahir rentang waktu 1981-1996 dan berusia sekitar 24-39 tahun).

Komposisi penduduk muda yang terbagi menjadi generasi Z dan generasi Milenial ini ternyata juga memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri di mana hal ini juga bisa menandakan bahwa usia tersebut merupakan usia yang tergolong masih sangat produktif. Tentu saja, peluang ini bisa dimanfaatkan untuk mendobrak langkah progresif seseorang di masa mudanya. Pada lingkungan masyarakat penulis misalnya, orang-orang yang memiliki rentang usia antara Milenial dan Gen Z cukup aktif dalam mengisi struktur organisasi kepemudaan, salah satunya organisasi Karang Taruna yang merupakan ruang kepemudaan di lingkungan penulis beranggotakan warga berusia 15-40 tahun.

Organisasi kepemudaan seperti Karang Taruna ini seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai wadahnya para pemuda-pemudi, bahkan sampai pada tingkat desa / kelurahan untuk menampung ide, inovasi serta pasrtisipasi pemuda dalam gotong-royong pembangunan daerah dan mendorong terwujudnya kesejahteraan warga yang bisa dimulai dengan melakukan gerakan pemberdayaan. Jika kemudian para pemuda dapat menciptakan ruang-ruang kreatif di lingkungannya, tentu saja akan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat.

Karang Taruna, Pasar Kreatif, dan Kepemimpinan Pemuda

Karang Taruna adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat sebagai wadah generasi muda untuk mengembangkan diri, tumbuh, dan berkembang atas dasar kesadaran serta tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk generasi muda, yang berorientasi pada tercapainya kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Definisi tersebut dijelaskan berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2019. Sebagaimana penulis meyakini juga bahwa Karang Taruna merupakan organisasi kepemudaan atau wadah ekspresi pemuda untuk berkreasi pada tiap-tiap lingkungannya.

Berbekal pengalaman melalui keterlibatan penulis dalam gerakan-gerakan pemuda Karang Taruna, dari menjadi sekretaris sampai kemudian mengemban tugas sebagai ketua Karang Taruna di Kelurahan Purwosari Kota Metro, Provinsi Lampung, tentu saja proses pengabdian, berdaya, dan berkreasi sebagai pemuda di lingkungan Purwosari tersebut berkaitan erat dengan peluang dan tantangan yang dihadapi sekaligus.

Inovasi berupa gerakan pemberdayaan oleh organisasi pemuda Karang Taruna kepada masyarakat pada Juli tahun 2019 sudah pernah terlaksana dengan mengajak salah satu perguruan tinggi di sekitar untuk berkolaborasi menciptakan pasar kreatif yang memanfaatkan lahan bambu-bambuan sebagai lahan yang memiliki potensi ekonomis dalam meningkatkan pendapatan warga sekitar, serta menunjang kemajuan lingkungan itu sendiri.

Pasar kreatif yang kemudian diberi nama Pasar Ngisor Pring atau disebut Pasorpring tersebut didesain sebagai pasar wisata yang tidak hanya menjual aneka kuliner tradisional, akan tetapi juga menyediakan berbagai macam hiburan seperti pojok akustik, spot foto, ruang bermain permainan tradisonal serta lapak literasi berupa pojok baca di bawah pohon bambu.

Pasorpring kemudian menjadi bukti bahwa pasar dapat diciptakan melalui gerakan pemberdayaan berbasis gotong-royong, dan keterlibatan pemuda dalam gerakan pemberdayaan tersebut juga dapat diperhitungkan. Akan tetapi untuk mencapai level pemberdayaan yang sustainable tidak hanya cukup bermodalkan sumber daya manusia dan potensi lokasi. Ada banyak hal yang patut dipertimbangkan seperti adanya faktor internal dan eksternal dari sebuah sistem pemberdayaan.

Misalkan budaya sosial masyarakat yang mengkonstruk bahwa pemanfaatan lahan selalu dikenakan beban sewa. Hal ini menjadi titik lemah untuk keberlanjutan pengelolaan pasar kreatif yang berbasis gotong-royong. Misi utama pemberdayaan ada untuk menjadikan masyarakat sebagai subjek perubahan yang mengelola lahannya dan menciptakan kebermanfaatan bersama. Namun dalam pelaksanannya permasalah tersebut menjadi tantangan tersendiri.

Sedangkan, faktor internal juga menjadi salah satu tantangan yang perlu dipertimbangkan, seperti egoisme dan cara komunikasi para penggerak pasar kreatif dalam menyeragamkan tujuan guna membangun sistem pemberdayaan yang berkelanjutan. Sikap ego yang tinggi dan cara komunikasi yang salah dari masing-masing penggerak pasar kreatif dapat mengakibatkan terjadinya chaos hingga mengurangi elektabilitas dalam bergotong-royong.

Hal ini kemudian diamini dengan kemandegan Pasorpring yang hanya mampu melaksanakan dua kali gelaran pasar. Beberapa faktor yang disebutkan di atas, seperti warga yang tidak mau terlibat dalam gerakan yang seharusnya menjadi subjek paling kuat, pihak warga yang membebankan sewa kepada para penggerak pasar kreatif, dan kurangnya kesadaran dalam bergoting-royong, serta pendekatan kepada warga kurang direspon dengan baik menjadi threats atau ancaman dari keberlangsungan nafas pemberdayaan pada Pasorpring itu sendiri.

Pemuda memang harus berpartisipasi dalam setiap momen gerakan warga. Gerakan pasar kreatif sangatlah penting sebab menjadi media pembelajaran kepemimpinan bagi pemuda (sebab selalu dinamika yang akan membuat pemuda semakin dewasa dalam berpikir), dan melebur dalam bergotong-royong mewujudkan tujuan bersama.

Gerakan pasar kreatif akan menjadi sangat penting dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun kedepan. Sebab pasar kreatif selain menjadi ruang pembelajaran, nantinya juga akan menjadi ikon, brand, atau ciri khas sebuah lingkungan yang berdaya. Gerakan yang menitik beratkan gotong-royong akan menjadi habit dan terawat secara bersama. Semua yang terlibat dalam kebersamaan gotong-royong akan tumbuh dan menjadi kekuatan yang sangat besar dalam membangun peradaban.

Pada akhirnya, Karang Taruna akan menjadi ruang yang sangat vital dalam menyatukan frekuensi pemberdayaan oleh pemuda itu sendiri. Keaktifan serta kepemimpinan yang diasah melalui pengalaman organisasi kepemudaan di Karang Taruna akan menjadi bekal pengetahuan ketika kelak di mana peran serta para pemuda telah siap bergerak di level memberdayakan masyarakat dalam cakupan yang lebih luas serta impact yang lebih besar.

Penulis Ahmad Mustaqim | Editor: Wahyu Puji

Categories
Opini Read

Mispersepsi Tentang Teks

Ini adalah catatan harian saja, sifatnya pribadi, tapi jika bermanfaat buat kalian juga silakan dibaca sesukanya. Pun kalau catatan ini mengundang kalian untuk meninggalkan jejak gagasan, silakan komentar saja. Ini tentang satu kata yang harus saya ingat dan pahami agar tidak menjadi biang masalah dikemudian hari. Kata itu adalah Mispersepsi.

Mispersepsi, mis artinya salah dan persepsi artinya anggapan, jadi Mispersepsi adalah salah anggapan atau salah pemahaman. Hal ini sering terjadi, bahkan bisa saya bilang lucu jika hal ini terjadi di forum diskusi/publik. Ya, harusnya pembahasannya tentang A dengan metode B, tapi justru karena Mispersepsi orang malah membahas Z yang tidak ada hubungannya dengan A.

Dalam dunia yang serba cepat ini (baca: digital), manusia hidup di dua dunia secara langsung, yakni dunia nyata yang real dengan segala fakta pengalaman indera dan dunia maya yang penuh dengan panggung sandiwara. Era digital memang sangat positif, sebab banyak orang makin mudah berinteraksi tanpa harus bertemu secara langsung. Tanpa ribet tinggal meninggalkan pesan/messenger ke orang lain, maka interaksi pun terjadi.

Namun, disinilah, di sebuah pesan singkat digital itu orang sering Mispersepsi, terutama tentang teks, memahami teks pesan tanpa ruang dan waktu, hanya mengobjekan dengan hasil tafsir pikirannya sendiri. Misalnya begini, saya berada di forum publik (sebut saja grup khusus messenger/pesan singkat) yang mengharuskan menulis kata: WOYY KALIAN!!!. Ternyata Ada yang marah, ada yang ketawa, ada yang hanya sekedar membacanya saja.

Pada dasarnya, saya menulis itu hanya untuk sekedar memancing suasana agar grup makin ribut, makin berbunyi dari suasana mati suri. Padahal saya menulis itu sambil tertawa dan menikmati suasana yang santai nan syahdu. Tapi ada yang marah hanya karena tertulis kapital semua dengan bumbu tanda seru seakan dalam suasana emosi akut.

Nah, yang kadang dilupakan, orang memahami teks tersebut hanya berdasarkan kesimpulan pikirannya tanpa mencari sebab atau kenapanya, seperti kenapa si (penulis teks) subjeknya menuliskan hal itu. Memang teks itu multipersepsi, bisa ditafsir sekarep pembacanya, tapi kalau hanya mengerucutkan teks menjadi satu persepsi (pemahaman), yo, alangkah mubazirnya. Ya kalau hasil persepsimu sama dengan si penulis teks, lah kalau tidak? Mungkin kalian akan masuk dalam kategori yang marah itu.

Ditulis: 04/03/2019

Categories
Opini Read

Diam yang Tak Sekedar Diam

Apa yang pertama kali kita pikirkan ketika mendengar kata “Diam”? Apakah Diam itu adalah sesuatu yang berhenti, yang tidak memberikan dampak pada sebuah sistem? Mungkin iya. Tapi pernahkan kita memikirkan bahwa ada sesuatu yang diam di dalam diri kita namun dalam kenyataannya sangat berdampak pada diri kita sendiri? Sesuatu yang disebut ketidaksadaran, tapi banyak menyetir wilayah sadar.

Tentang suatu pengalaman-pengalaman yang pernah disadari, tetapi kemudian dilupakan atau terabaikan, dan pengalaman-pengalaman yang terlalu lemah untuk menciptakan kesan sadar pada manusia. Ini saya menyebutnya koleksi bawah sadar, folder database bawah sadar atau endapan bawah sadar. Tanpa kita sadari, hal-hal tersebut jarang muncul di wilayah kesadaran kita, alias diam. Tapi banyak menentukan perilaku kita.

Ketika kita membaca buku, apakah sepenuhnya kita ingat, tahu, dan paham apa yang baru saja kita baca? Berdasarkan pengalaman pribadi saya tidak bisa sepenuhnya ingat, tahu, dan paham. Lantas apakah hal-hal yang kita baca itu sia-sia? Tentu tidak, semua masuk di wilayah bawah sadar, menjadi endapan bawah sadar. Pada momentum tertentu, biasanya endapan ini muncul dan menentukan apa-apa yang akan kita lakukan. Ia diam, tapi justeru sering menyetir wilayah sadar kita. Sama halnya dengan trauma-trauma yang dialami tiap manusia.

Dalam kasus sikap manusia misalnya, ada orang yang disenggol saja gampang marah. Kita yang nyenggol kadang kebingungan, “Kenapa orang ini marahan begini?”. Kita harus menyadari bahwa ekspresi marahnya orang tersebut bisa jadi karena pengalaman pribadinya, yang sering dimarahi orang tuanya dan sebagainya. Sehingga ketika disenggol, responnya langsung meniru berdasarkan pengalamannya tersebut.

Dari kejadian ini kita juga harus memahami tentang kompleksitas pengetahuan. Istilah marah dalam diri manusia itu kompleks, ada marah yang kita pahami dari cara marahnya orang tua, teman kita, bahkan diri kita sendiri, dan istilah marah dari pengalaman-pengalaman tertentu seperti dari membaca buku. Ini terstruktur menjadi satu pandangan tentang marah. Tapi kita sering tidak menyadarinya.

Saya makin kesini makin teringat dengan konsep Sigmund Freud tentang struktur psikologis manusia, atau teori psikoanalisis, ada tiga elemen penting yakni Id, Ego, dan Superego. Id adalah wilayah yang merepresentasikan kebutuhan dasar alamiah manusia seperti makan dan minum. Id bekerja sesuai prinsip kesenangan dan mencari kepuasan secara instan terhadap keinginan dan kebutuhan. Misalnya ketika dalam sebuah kegiatan seminar kita merasa haus, dan kita langsung menuju kantin untuk minum. Jika ini tidak terpenuhi maka akan timbul rasa cemas.

Sedangkan Ego adalah sesuatu yang berurusan dengan realita. Ego berusaha memenuhi keinginan Id secara kultur sosial atau dapat diterima secara sosial. Ego mengerti bahwa orang lain juga memiliki keinginan dan kebutuhan. Jadi, apa yang di inginkan Id masih dipertimbangkan. Misalnya dalam kegiatan tadi, ketika kita merasa haus, kita masih menunggu seminar selesai dulu untuk kemudian minum, atau percaya bahwa nanti akan ada panitia yang datang memberi minum. Ego menunda kepuasan manusia tersebut dan membantu menghilangkan kecemasan.

Selain itu, Superego adalah aspek moral dari suatu kepribadian yang didapat dari belajar, mulai dari orang tua yang mengasuh atau dari norma atau nilai pada sistem masyarakat yang didasarkan pada moral dan penilaian tentang benar dan salah. Hampir sama dengan Ego, namun bedanya di Superego keputusan diambil berdasarkan pada nilai-nilai moral.

Dari tiga elemen ini, hal-hal yang berkaitan dengan diam yang tak sekedar diam persis seperti elemen Id, wilayah yang tidak terlihat, tapi justeru banyak menentukan apa-apa yang dilakukan oleh manusia. Sesuatu yang kita tidak tahu, tidak muncul dalam kesadaran kita, tapi dia ikut nyetir kesadaran kita.

Categories
Opini Read

Berpikir Etis dan Paradigma-Paradigmanya

Kalau misal ditanya, “Berpikir dulu baru melakukan, atau melakukan dulu baru berpikir?” mana yang lebih tepat untuk menunjukan realita yang terjadi pada manusia? Mari berpikir. Mari menentukan jawaban. Kita harus berpikir untuk menentukan jawaban tersebut. Entah menjawab berpikir dulu atau berpikir setelah melakukan sesuatu (mengevaluasi). Kita tidak bisa lepas dari soal berpikir, apalagi dalam menentukan pilihan-pilihan dalam kehidupan ini.

Ada tiga kemampuan berpikir yang saya pahami, yakni berpikir kritis, berpikir kreatif, dan berpikir etis. Pada kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif, umumnya dilakukan untuk menentukan suatu kebenaran yang logis / rasional / masuk akal, menentukan mana benar dan mana salah. Namun pada berpikir etis lebih berbeda, sebab ada pertimbangan moral yang harus dipilih. Tidak berhenti pada soal mana benar dan mana salah, tapi juga pada pertimbangan mana baik dan mana buruk.

Sebab, ada hal-hal yang secara logis benar (rasional), tapi dalam realitanya malah meleset, alias berdampak buruk. Atau sering kali dalam kejadian yang secara etik buruk dilakukan, namun justifikasi rasional mampu membenarkan apa yang dilakukan tersebut. Misalnya, saat ujian akhir teman kita kedapatan mencontek, ketika ditanya kenapa mencontek ia menjawab, “Wah dosennya yang nggak bener ini, soalnya apa yang diajarkan dan apa yang di ujikan beda.”

Justifikasi tersebut secara rasional benar, meskipun apa yang dilakukan buruk. Inilah yang kemudian menjadi pengetahuan baru, bahwa rasio memiliki kelemahan, apa yang salah kadang kala tetap dicarikan argumen / justifikasi pembenarannya. Maka dalam kejadian-kejadian seperti itu diperlukan kemampuan berpikir etis, untuk lebih detail bagaimana menentukan pilihan yang tak hanya sekedar benar dan salah, tapi juga baik dan buruknya.

Dalam berpikir etis ada 3 framework atau paradigma yang sering digunakan, pertama adalah Teological Ethic, kedua adalah Deontologi Ethic, dan ketiga adalah Virtue Ethic. Ketiganya memiliki perbedaan mendasar tentang bagaimana sudut pandang etisnya ditentukan.

Teological Ethic

Teological Ethic adalah framework berpikir etis yang melihat pada hasil atau output-nya, tanpa mempedulikan proses yang terjadi. Misalnya pada kasus kegiatan seminar astronomi disuatu kampus, ada seseorang yang berkata, “Sudahlah datang saja, yang penting kamu kesana dapat ilmu baru tentang astronomi.” Ini adalah paradigma Teological Ethic, apa yang terjadi nantinya di seminar (meskipun datang telat, dan sebagainya) tidak dipertimbangkan.

Framework ini jelas bahwa fokusnya ada pada tujuan, jika dalam setiap keputusan yang kita ambil dalam hidup ini belum sesuai dengan apa yang ingin kita tuju, maka artinya apa yang kita lakukan belum tepat dan benar, belum baik untuk diri kita. Pada kasus di atas, jika setelah seminar orang tersebut tidak tahu tentang ilmu astronomi, berarti apa yang dilakukannya adalah keliru atau salah.

Deontological Ethic

Deontological Ethic adalah framework berpikir etis yang melihat pada sudut prosesnya, tanpa peduli pada hasil atau output (alias pasrah). Misalnya pada kasus seminar yang sama, seseorang berkata, “Sudahlah yang penting itu datang dan belajar, soal nanti dapat ilmu atau tidak biarkan yang maha kuasa.” Ini framework Deontological Ethic, fokus pada proses atau kewajiban-kewajiban/pertimbangan moral yang dilakukan, soal apa nanti output-nya, pasrahkan saja.

Soal paradigma ini, contoh kasus lain misalnya pada bagian panitia anggaran seminar diatas, ketua panitianya berkata, “Nanti kamu buat SPJ-nya yang jujur, sesuai dengan pengeluaran,” poinnya ada pada kewajiban jujur, moral jujurnya, apapun dampak yang terjadi dari kejujuran itu, dipasrahkan saja pada yang kuasa, yang penting kewajiban moralnya sudah benar dan baik.

Virtue Ethic

Virtue Ethic atau etika kebajikan adalah framework berpikir etis yang melihat pada karakter atau orangnya. Misalnya kita akan memberikan kepercayaan kepada seseorang, lalu timbul satu pertanyaan, “Apakah orang ini bisa dipercaya?” Sudut pandang kita ada pada sisi orangnya. Dan ternyata orang ini karakternya jujur, maka keputusan yang kita ambil untuk mempercayainya sudah pasti tepat, sebab orang tersebut tidak akan menabrak prinsip-prinsip kejujuran.

Jadi, pada paradigma Virtue Ethic ini, asumsinya adalah orang-orang yang sudah terbangun karakter pada dirinya adalah orang yang baik, maka yang dilakukan pasti baik. Jika orangnya berani, maka dia tidak akan menabrak prinsip-prinsip keberanian. Jika orangnya suka berbohong, maka dia pasti menabrak prinsip-prinsip kejujuran, dan seterusnya, sehingga keputusan kita ditentukan dari karakter-karakter orang tersebut.

Tiga framework atau paradigma inilah yang biasa digunakan dalam berpikir etis. Mungkin dalam kejadian tertentu, kita sering menggunakan satu diantara tiga paradigma diatas, tapi baru menyadari setelah membaca tulisan ini.

Setidaknya dari apa yang sudah dituliskan ini, kita bisa mengkategorikan orang-orang yang sering kali berpikir dalam framework-framework di atas. Kita juga tidak kaget ketika kita bertemu orang yang menentukan pilihannya hanya fokus pada hasilnya, pada kewajiban moralnya (atau prosesnya), dan orang yang menentukan pilihan berdasarkan karakter-karakter tertentu. Dan satu lagi, kita tidak jadi orang yang nggumunan.

Categories
Opini Read

Taksonomi Bloom dan Tujuan Pendidikan di Ranah Afektif

Sudah cukup lama saya tidak melanjutkan serial belajar Taksonomi Bloom. Terakhir kali saya menulis tentang Bloom adalah artikel berjudul Taksonomi Bloom dan Tujuan Pendidikan pada Ranah Kognitif yang terpublish pada tanggal 22 Oktober 2018. Artinya sudah hampir 3 tahun saya tidak melanjutkannya. Kini saya kembali mempelajari, lalu mencoba untuk menuliskannya kembali secara kontinyu.

Bukan tanpa alasan untuk kembali mempelajari konsep Benjamin Bloom. Di momentum seperti ini, di masa bagaimana pendidikan mengalami sebuah sistem yang berbeda. Di masa ketika kita bertumbuh dan berkembang dari rumah, belajar menggunakan sistem daring tanpa ada pertemuan. Tentu ini ada dampak positifnya, tapi tak menutup kemungkinan juga dampak negatifnya. Tapi bagaimanapun sistem yang sedang digunakan pada pendidikan saat ini, saya kira konsep Bloom kembali mengingatkan kita untuk menemukan titik ideal bagaimana seharusnya output dari pendidikan itu sendiri.

Pada seri tulisan sebelumnya, setidaknya kita belajar bahwa tujuan pendidikan di ranah kognitif membuat kita mampu meningkatkan level akal secara berjenjang. Mulai dari level terendah sekedar cukup tahu tentang pengetahuan, sampai pada level puncak bagaimana mengevaluasi sebuah ilmu-pengetahuan itu sendiri.

Pada tulisan ini saya akan mengajak belajar lagi bagaimana Tujuan Pendidikan pada Ranah Afektif. Pada ranah ini, fokusnya ada pada sikap atau attitude. Bloom mencoba menjelaskan lima tingkatan Tujuan Pendidikan pada Ranah Afektif, yang pada akhirnya, pendidikan seharusnya mampu membentuk setiap individu menjadi makhluk yang berkarakter.

Tujuan Pendidikan Pada Ranah Afektif

Bloom membagi tingkatan tujuan pendidikan pada ranah afektif ini menjadi lima bagian, pada level paling rendah tujuan pendidikan di ranah afektif adalah membuat kita mampu menerima, lalu responsif, selanjutnya mampu menghargai, kemudian kerjasama (harmoni), dan level puncaknya adalah berkarakter.

  1. Penerimaan
    Pada level ini pendidikan harusnya mampu membuat setiap orang untuk menerima. Maksudnya mampu membuka diri terhadap segala sesuatu. Mampu membuka diri terhadap orang lain dan pada setiap ilmu pengetahuan baru. Pada praktik keseharian misalnya, kita mampu menerima belajar dengan orang yang justeru membosankan, mampu menerima belajar dengan orang yang secara formal pendidikan di bawah kita, bagaimanapun kondisinya batin kita harus mampu menerima. Sebab akan selalu ada ilmu baru dari setiap penerimaan pada siapa dan apapun.
  2. Responsif
    Ketika kita sudah selesai pada level penerimaan/menerima, maka sikap kita yang harus ditumbuhkan adalah responsif. Seperti apakah kita setuju pada konsep atau pengetahuan yang di utarakan seseorang? Apakah kita akan mengaplikasikan sebuah masukan dari seseorang atau tidak? Apakah kita akan menganalisis sebuah pengetahuan tersebut atau tidak. Kita harus merespon, harus menanggapi. Pada prosesnya, setiap penerimaan yang direspon adalah bentuk sikap peduli terhadap apa yang diberikan, dalam hal ini ilmu-pengetahuan.
  3. Menghargai
    Level selanjutnya adalah menghargai. Tujuan pendidikan di ranah sikap harusnya membuat kita mampu menghargai. Di level ini, kita sudah bisa menemukan sebuah value (nilai) dari penerimaan dan respon, “ohh ini baik buat saya, ohh ini buruk buat saya,” ,”ohh ini cocok deh, ohh ini nggak cocok deh,” kita mampu menilai untuk kebaikan diri, dan tetap menghargai.
  4. Kerjasama / Harmoni
    Ketika sudah mencapai level mampu menghargai, maka sikap yang harus timbul selanjutnya adalah harmoni, mampu bekerjasama. Bukan untuk menang-menangan sendiri. Di level ini kita sudah menemukan nilai yang disepakati bersama. Maka kita mampu untuk srawung, hidup bersama, mampu menyelesaikan segala persoalan secara bersama/kolektif.
  5. Karakterisasi
    Ini adalah level puncak dari Ranah Afektif yang dikemukakan Bloom, yaitu Karakterisasi. Ini seperti apa yang sering kita sebut sebagai Pendidikan Karakter. Di level ini pendidikan membentuk diri kita secara ideal. Kita sudah terbentuk, menjadi pribadi yang berkarakter, sosok yang cerdas, soleh, kreatif dan sebagainya.

Dari lima level tujuan pendidikan di ranah afektif yang dikemukakan Bloom ini, kesimpulan saya adalah, ini merupakan sebuah seni mengolah tingkatan level batin. Kalau di ranah sebelumnya akal kita yang belajar, di ranah ini batin kita yang belajar, belajar untuk mampu menerima, mampu tidak cuek (alias responsif), mampu menghargai, mampu bekerjasama (alias gampang srawung [Jawa:hidup/melakukan secara bersama]) dan berkarakter baik.

Tapi kemudian setelah saya hendak menyelesaikan tulisan ini, timbul satu pertanyaan, selama beberapa tahun belajar terus via daring yang tentu saja memiliki hambatan sinyal ndut-ndutan, noise, dan distraksi fokus pada layar pembicara (yang gonta-ganti), apakah kita sudah sepenuhnya mampu menerapkan level menerima, responsif, dan menghargai? Tiga level itu saja, apakah kita sudah selesai?