Selama ini, saya hidup dengan keyakinan bahwa manusia pasti bisa dan harus berdaulat atas dirinya sendiri.
Saya menyukai gagasan itu—sebuah ide yang terasa memberi daya. Bahwa setiap orang, termasuk saya, memiliki kuasa atas pikirannya sendiri. Bahwa menjadi manusia sejati berarti mampu membuat pilihan secara sadar, jernih, dan bertanggung jawab. Tidak sekadar mengikuti arus, tidak sekadar mengulangi pola, tapi hadir penuh dalam setiap keputusan.
Keyakinan ini saya bawa ke banyak hal: dalam memilih sikap hidup, dalam menimbang nilai, dalam menentukan arah politik, bahkan dalam hal-hal sehari-hari yang tampak sepele. Saya percaya bahwa selama saya sadar, saya bebas. Dan selama saya bebas, saya berdaulat. Sebuah rantai makna yang terasa kuat.
Namun, sesuatu mulai mengusik di balik keheningan pikiran saya.
Bukan sebuah argumen keras atau perdebatan sengit. Hanya satu pertanyaan kecil, samar—yang terus datang tanpa diundang:
“Apakah saya sungguh memilih pikiran saya sendiri?”
Pertanyaan itu tidak langsung saya jawab. Ia bahkan tidak saya anggap penting pada awalnya. Tapi seperti tetesan air yang terus menerus jatuh pada batu, lambat laun ia membentuk lekukan.
Saya mulai memperhatikan bagaimana pikiran datang—tiba-tiba, tak diminta.
Saya menyadari betapa banyak respons saya terhadap dunia muncul otomatis, bahkan sebelum saya sempat menyadarinya. Keputusan yang saya banggakan kadang terasa seperti hasil refleksi, tapi jika saya telusuri lebih dalam, saya tidak tahu dari mana asal mula dorongannya. Apakah itu murni dari saya? Atau hanya sebuah gema dari masa lalu, dari pola yang tertanam diam-diam?
Saya sempat menolak keraguan ini. Saya ingin tetap percaya bahwa saya adalah pengendali utama. Bahwa kesadaran saya cukup kuat untuk menavigasi hidup. Tapi semakin saya mengamati diri sendiri, semakin saya sadar: banyak hal dalam diri saya bergerak tanpa persetujuan saya.
Saya tidak pernah memilih untuk marah, tapi saya marah.
Saya tidak memilih rasa cemas itu, tapi ia datang.
Saya tidak menciptakan pikiran yang muncul—saya hanya menyaksikannya lewat.
Lalu, bagaimana mungkin saya mengklaim sebagai penguasa dari apa yang bahkan tidak saya pilih?
Saya mulai memahami sesuatu: mungkin kedaulatan itu bukan tentang memiliki kuasa penuh atas pikiran, melainkan memiliki kejernihan untuk menyadari bahwa kuasa itu tidak pernah sepenuhnya ada.
Dan dari kejernihan itulah muncul kebebasan yang lain—bukan kebebasan untuk mencipta isi kepala, tapi kebebasan untuk tidak larut dalam apa pun yang lewat di sana.
Refleksi itu mengubah arah saya.
Ia tidak menggantikan keyakinan lama, tapi membentuk ulang fondasinya.
Bahwa menjadi manusia bukan soal mengendalikan semuanya,
tetapi soal hadir utuh di tengah keterbatasan itu—dan tetap memilih, meski tahu tak semua berasal dari kehendak sendiri.
Dan mungkin, justru di situlah letak kedaulatan yang sejati.
Metro, 6 April 2025 | 01.34 WIB
#Sandallll
