“Kalau aku boleh memiliki satu harapan untuk pendidikan itu adalah penataan yang sistematis terhadap pengetahuan dasar kita sehingga apa yang kita anggap kebenaran bisa dijalankan, sementara apa yang sifatnya takhayul, iseng dan mitos dipandang sebagaimana adanya dan hanya digunakan saat tidak ada lagi yang mendukung kita dalam frustasi dan putus asa,” Benjamin Samuel Bloom.
Saya buka tulisan ini dengan Quote dari seorang tokoh, seorang pemikir di dunia pendidikan. Nama Benjamin Samuel Bloom (selanjutnya saya sebut Bloom) mungkin sudah tidak asing lagi bagi kalian yang suka mencari tahu tentang pendidikan atau bagi yang sedang duduk dan belajar di jurusan pendidikan. Bagi kalian yang belum tahu, coba carilah di dunia maya (yang kaya akan informasi ini) tentang Bloom. Pun kalau mau mengikuti menurut saya, Bloom adalah tokoh pendidikan yang hidup diawal abad 20 (1913) dan meninggal di akhir abad 20 (1999), seorang psikolog dan filsuf yang punya pengaruh di dunia pendidikan.
Bloom punya pengaruh di dunia pendidikan, sekecil-kecilnya adalah berpengaruh dipikiran saya dan sebesar-besarnya (atau mungkin ada yang lebih besar dari ini) adalah berpengaruh di dunia pendidikan kampus (sebagai bahan ajar pokok untuk memahami pendidikan). Awal saya mulai mengenal Bloom adalah ketika belajar Ilmu Pengetahuan Umum, hanya sebatas kenal (alias tahu), selebihnya saya mulai belajar memahami.
Sebab saya tahu, maka saya harus memahami. Cara saya memahami Bloom adalah dengan menulis tulisan ini. Saya belajar mengungkapkan yang saya tahu dengan bahasa saya sendiri (sebab dengan cara ini pikiran saya bekerja lebih baik). Memangnya ada bedanya antara tahu dan paham? Tentu saja, dalam pelajaran Bloom inilah, tahu dan paham dibedakan secara level. Meski bagi Bloom, tahu dan paham adalah kelompok terendah dalam tingkatan belajar. Kok bisa? Itu ada di teorinya, pada Taksonomi Bloom. Lah, apa itu Taksonomi Bloom?
Taksonomi Bloom
Berawal dari kegelisahannya, Benjamin S. Bloom di awal tahun 1950-an dalam Konferensi Asosiasi Psikologi Amerika, (melalui hasil penelitiannya) menganggap bahwa pendidikan (di kampus dan sekolah) hari ini, ketika memberikan tugas dan soal-soal lebih banyak menyuruh mahasiswa dan siswanya untuk hafalan, mengingat kembali. Misalnya ketika ujian, mahasiswa dan siswa diperintah untuk menutup buku yang artinya mereka diperintah untuk menguji hafalannya.
Bloom, tidak menganggap hafalan adalah cara yang salah, tapi baginya hafalan adalah tingkat berpikir (belajar) yang paling rendah. Seharusnya jika sudah seorang mahasiswa tingkat belajar bukan lagi perihal hafalan: “Sebutkan, jelaskan, berikan dan lain sebagainya itu.” Maka harus ada yang lebih dari hanya sekedar hafalan. Disinilah cikal bakal adanya Taksonomi Bloom.
Bagi yang belum tahu apa itu Taksonomi, Taksonomi adalah pengklasifikasian berhirarki dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Kalian pasti sudah tidak asing dengan pengklasifikasian atau pengkategorian manusia dalam teori Darwin bukan? Nah, itu merupakan salah satu Taksonomi, yakni Taksonomi Biologi. Pada Taksonomi Bloom, pengkategoriannya adalah cara untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan.
Pada Taksonomi Bloom tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah/ kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya. Ada Ranah Kognitif, Ranah Afektif dan Ranah Psikomotorik. Bloom juga menyebut tiga ranah itu sebagai Pendidikan Holistik 3H: Head (Kepala/Kognitif), Heart (Hati/Afektif) dan Hand (Tangan/Tindakan/Psikomotorik).
Pendidikan Holistik (3H)
Sebelum saya tulis lebih jauh tentang tiga ranah itu dan pembagian yang lebih rinci lagi dari masing-masing ranah, saya akan mengorek dulu tentang 3H tersebut. 3H itu merupakan lingkaran, sebuah siklus yang harus saling terkait pada pendidikan. Begini, ketika kita belajar maka harus berpengaruh kedalam Kognitif (Kepala), Afektif (Hati) dan Psikomotorik (Tindakan) kita. Ketiga hal tersebut harus benar-benar singkron, artinya apa yang kamu pelajari itu harus mantap di kepala, di hati dan di tindakan agar apa yang dipelajari benar-benar tercapai dengan baik.
Jika kebenaran ilmu yang kamu yakini (di kepala), cocok dan mantap di hati, serta cocok dengan tindakan keseharianmu, maka hakikat pendidikan yang kamu jalani itu akan mengangkat derajatmu. Level hidupmu akan lebih baik dari sebelumnya. Ibaratkan saja, ketika kita akan memberi bantuan ke korban bencana, secara Heart (Hati) mungkin kita ingin membantu/memberi semua harta yang kita punya karena kasihan. Tapi secara Head (kepala), dikalkulasi ternyata kita juga butuh harta, maka Hand (Tindakan) yang kita lakukan pun akan lebih menenangkan (atau sebut saja ikhlas).
Dari kasus bencana tersebut seandainya kita hanya menuruti kemauan Heart, tentu kepala (Head) akan tersiksa (pikirannya), begitu pula sebaliknya. Bahkan ketika antara Head dan Heart pun sudah singkron tapi tidak ada Hand (Tindakan), sama saja tidak ada artinya.
Begitulah di dunia pendidikan, antara ketiganya harus sesuai, harus singkron, baik itu Kognitif, Afektif dan Psikomotorik. Ketiga hal tersebut harus mantap menjadi satu kesatuan agar tujuan pendidikan pun lebih baik. Sebab pendidikan bukan hanya tentang sekedar paham, lalu kemudian selesai.
Dalam mencapai tujuan pendidikan itulah Taksonomi Bloom perlu saya pahami lagi, terkhusus mengenai bagaimana tujuan pendidikan pada ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotorik (lebih rinci lagi). Ketiga hal tersebut akan saya tulis ditulisan selanjutnya, sebab tulisan sependek ini sudah membuat pikiran saya lelah. Saya butuh kopi.