Sejarah pernah mencatat bahwa peran pemuda sebagai aktor perubahan menjadi kunci utama dari sebagian besar proses pembangunan di negeri ini. Dalam hal ini, pemuda juga seringkali dijuluki sebagai agent of change atau agen perubahan. Bung Karno pernah mengatakan, “Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”, artinya ada harapan besar bagi sebuah negara yang erat kaitannya pada diri anak-anak mudanya. Maka, akan menjadi sangat penting apabila kemudian negara mampu menyediakan ruang-ruang pengetahuan alternatif di mana anak muda negeri ini dapat berproses untuk tumbuh dan berkembang di lingkungannya.
Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, pada pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Meski begitu, faktanya definisi pemuda (pada batasan usia) terus berkembang di masyarakat, ada yang mengacu pada UU tersebut, ada juga yang tidak. Di luar perdebatan batasan usia tersebut, hal paling penting adalah soal semangat pemuda. Meski berusia diatas 30 tahun, masih pantas disebut pemuda jika memiliki semangat layaknya pemuda.
Data Sensus Penduduk (SP) Tahun 2020 oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI) menyajikan jumlah data penduduk Warga Negara Indonesia yang bertambah 32,56 juta jiwa dibandingkan SP Tahun 2010, artinya kini jumlah penduduk Indonesia terus bertambah hingga mencapai 270,20 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, tercatat ada 53,81% jumlah usia produktif di indonesia yang dibagi berdasarkan rentang usia yang berbeda. Diantaranya sebanyak 27,94% Gen Z (generasi yang lahir rentang tahun 1997-2012, yang saat ini usianya diperkirakan antara 17-23 tahun) dan sebanyak 25,87% Milenial (generasi yang lahir rentang waktu 1981-1996 dan berusia sekitar 24-39 tahun).
Komposisi penduduk muda yang terbagi menjadi generasi Z dan generasi Milenial ini ternyata juga memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri di mana hal ini juga bisa menandakan bahwa usia tersebut merupakan usia yang tergolong masih sangat produktif. Tentu saja, peluang ini bisa dimanfaatkan untuk mendobrak langkah progresif seseorang di masa mudanya. Pada lingkungan masyarakat penulis misalnya, orang-orang yang memiliki rentang usia antara Milenial dan Gen Z cukup aktif dalam mengisi struktur organisasi kepemudaan, salah satunya organisasi Karang Taruna yang merupakan ruang kepemudaan di lingkungan penulis beranggotakan warga berusia 15-40 tahun.
Organisasi kepemudaan seperti Karang Taruna ini seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai wadahnya para pemuda-pemudi, bahkan sampai pada tingkat desa / kelurahan untuk menampung ide, inovasi serta pasrtisipasi pemuda dalam gotong-royong pembangunan daerah dan mendorong terwujudnya kesejahteraan warga yang bisa dimulai dengan melakukan gerakan pemberdayaan. Jika kemudian para pemuda dapat menciptakan ruang-ruang kreatif di lingkungannya, tentu saja akan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat.
Karang Taruna, Pasar Kreatif, dan Kepemimpinan Pemuda
Karang Taruna adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat sebagai wadah generasi muda untuk mengembangkan diri, tumbuh, dan berkembang atas dasar kesadaran serta tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk generasi muda, yang berorientasi pada tercapainya kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Definisi tersebut dijelaskan berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2019. Sebagaimana penulis meyakini juga bahwa Karang Taruna merupakan organisasi kepemudaan atau wadah ekspresi pemuda untuk berkreasi pada tiap-tiap lingkungannya.
Berbekal pengalaman melalui keterlibatan penulis dalam gerakan-gerakan pemuda Karang Taruna, dari menjadi sekretaris sampai kemudian mengemban tugas sebagai ketua Karang Taruna di Kelurahan Purwosari Kota Metro, Provinsi Lampung, tentu saja proses pengabdian, berdaya, dan berkreasi sebagai pemuda di lingkungan Purwosari tersebut berkaitan erat dengan peluang dan tantangan yang dihadapi sekaligus.
Inovasi berupa gerakan pemberdayaan oleh organisasi pemuda Karang Taruna kepada masyarakat pada Juli tahun 2019 sudah pernah terlaksana dengan mengajak salah satu perguruan tinggi di sekitar untuk berkolaborasi menciptakan pasar kreatif yang memanfaatkan lahan bambu-bambuan sebagai lahan yang memiliki potensi ekonomis dalam meningkatkan pendapatan warga sekitar, serta menunjang kemajuan lingkungan itu sendiri.
Pasar kreatif yang kemudian diberi nama Pasar Ngisor Pring atau disebut Pasorpring tersebut didesain sebagai pasar wisata yang tidak hanya menjual aneka kuliner tradisional, akan tetapi juga menyediakan berbagai macam hiburan seperti pojok akustik, spot foto, ruang bermain permainan tradisonal serta lapak literasi berupa pojok baca di bawah pohon bambu.
Pasorpring kemudian menjadi bukti bahwa pasar dapat diciptakan melalui gerakan pemberdayaan berbasis gotong-royong, dan keterlibatan pemuda dalam gerakan pemberdayaan tersebut juga dapat diperhitungkan. Akan tetapi untuk mencapai level pemberdayaan yang sustainable tidak hanya cukup bermodalkan sumber daya manusia dan potensi lokasi. Ada banyak hal yang patut dipertimbangkan seperti adanya faktor internal dan eksternal dari sebuah sistem pemberdayaan.
Misalkan budaya sosial masyarakat yang mengkonstruk bahwa pemanfaatan lahan selalu dikenakan beban sewa. Hal ini menjadi titik lemah untuk keberlanjutan pengelolaan pasar kreatif yang berbasis gotong-royong. Misi utama pemberdayaan ada untuk menjadikan masyarakat sebagai subjek perubahan yang mengelola lahannya dan menciptakan kebermanfaatan bersama. Namun dalam pelaksanannya permasalah tersebut menjadi tantangan tersendiri.
Sedangkan, faktor internal juga menjadi salah satu tantangan yang perlu dipertimbangkan, seperti egoisme dan cara komunikasi para penggerak pasar kreatif dalam menyeragamkan tujuan guna membangun sistem pemberdayaan yang berkelanjutan. Sikap ego yang tinggi dan cara komunikasi yang salah dari masing-masing penggerak pasar kreatif dapat mengakibatkan terjadinya chaos hingga mengurangi elektabilitas dalam bergotong-royong.
Hal ini kemudian diamini dengan kemandegan Pasorpring yang hanya mampu melaksanakan dua kali gelaran pasar. Beberapa faktor yang disebutkan di atas, seperti warga yang tidak mau terlibat dalam gerakan yang seharusnya menjadi subjek paling kuat, pihak warga yang membebankan sewa kepada para penggerak pasar kreatif, dan kurangnya kesadaran dalam bergoting-royong, serta pendekatan kepada warga kurang direspon dengan baik menjadi threats atau ancaman dari keberlangsungan nafas pemberdayaan pada Pasorpring itu sendiri.
Pemuda memang harus berpartisipasi dalam setiap momen gerakan warga. Gerakan pasar kreatif sangatlah penting sebab menjadi media pembelajaran kepemimpinan bagi pemuda (sebab selalu dinamika yang akan membuat pemuda semakin dewasa dalam berpikir), dan melebur dalam bergotong-royong mewujudkan tujuan bersama.
Gerakan pasar kreatif akan menjadi sangat penting dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun kedepan. Sebab pasar kreatif selain menjadi ruang pembelajaran, nantinya juga akan menjadi ikon, brand, atau ciri khas sebuah lingkungan yang berdaya. Gerakan yang menitik beratkan gotong-royong akan menjadi habit dan terawat secara bersama. Semua yang terlibat dalam kebersamaan gotong-royong akan tumbuh dan menjadi kekuatan yang sangat besar dalam membangun peradaban.
Pada akhirnya, Karang Taruna akan menjadi ruang yang sangat vital dalam menyatukan frekuensi pemberdayaan oleh pemuda itu sendiri. Keaktifan serta kepemimpinan yang diasah melalui pengalaman organisasi kepemudaan di Karang Taruna akan menjadi bekal pengetahuan ketika kelak di mana peran serta para pemuda telah siap bergerak di level memberdayakan masyarakat dalam cakupan yang lebih luas serta impact yang lebih besar.
Penulis Ahmad Mustaqim | Editor: Wahyu Puji